Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia yang Ke 66 ....JAYA INDONESIAKU .......Selamat Menjalankan Ibadah Puasa...Selamat Datang di website Komunitas Betawi Mandiri, website ini masih status percobaan, sebelum proses domain & webhosting selesai...

Popular Posts

Tentang Kite


Seluruh ummat manusia memiliki tujuan untuk memperoleh kebahagiaan, kesuksesan dan ketentraman didalam kehidupannya. Namun kenyataan yang didapat saat ini adalah rasa kecemasan, ketakutan, ketidakpuasan, kesenjangan, ketidakadilan, dan bahkan kegagalan. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya perilaku menyimpang dari masyarakat, seperti kriminalitas, kekerasan, aksi protes/demonstrasi, perkelahian antar kelompok dan lain-lain. Sehingga antara harapan dengan kenyataan menjadi sangat jauh berbeda.

Hal ini terjadi karena masyarakat pada umumnya memiliki kepahaman dan meyakini bahwa kebahagian, kesuksesan, dan keselamatan akan diperoleh apabila seseorang memiliki kekayaan, kedudukan/kekuasaan dan popularitas, yang pada akhirnya diukur berdasarkan nilai-nilai ekonomi yang dimiliki seseorang. Dengan demikian seluruh usaha yang dilakukan oleh masyarakat terfokus pada perburuan dalam bidang ekonomi, yang bahkan juga telah merasuk dalam kehidupan beragama. Hal inilah yang kemudian menimbulkan perilaku serakah, egois, zhalim dan arogan. Sehingga menjerumuskan kita kedalam keadaan saling menindas, saling menuntut, saling iri dan dengki, serta saling sikut.
Jelas terlihat bagaimana yang kaya memanfaatkan yang miskin, yang miskin mengganggu yang kaya, yang berkuasa menindas yang jelata, majikan menyiksa pembantunya, pembantu berani melawan majikannya, yang kuat menindas yang lemah. Sehingga tidak satupun diantara kita merasa bahagia, aman dan tenteram. Seluruh lapisan masyarakat tersebut masing-masing merasa terancam, sehingga harus bertahan, atau bahkan menyerang dan mengancam, sehingga tidak merasakan ketentraman dan keamanan dalam kehidupannya. Bagaimana mungkin masyarakat bisa hidup bahagia, sementara mereka senantiasa berperilaku lebih mengutamakan menuntut haknya, tanpa mau melihat adakah kewajibannya sudah ditunaikan terlebih dahulu.
Sesungguhnya Alloh SWT sebagai pencipta manusia berikut seluruh keperluannya yang ada di alam semesta ini, sudah memberikan ketetapan yang tidak akan berubah sampai akhir zaman. Ketetapan tersebut adalah bahwasanya keselamatan, kebahagiaan dan kesuksesan manusia dalam kehidupannya baik di dunia apalagi di akhirat, hanya diletakkan pada amal agama yang sempurna, dimana bagi yang beragama Islam adalah sejauh mana ummat Islam melaksanakan seluruh perintah Alloh SWT dengan mengikuti contoh yang telah diberikan oleh Rosululloh SAW.
Dengan demikian siapapun dan bagaimanapun keadaan seseorang, apakah Alloh SWT berikan kekayaan, kekuatan, kepandaian, dan kekuasaan, ataupun Alloh SWT tetapkan dalam kemiskinan, kelemahan dan kebodohan, namun Alloh SWT berkenan untuk mewujudkan kesempurnaan agama dalam kehidupannya. Maka sudah dapat dipastikan bahwa hidupnya akan penuh dengan kebahagiaan, dan dia akan sukses di dunia dan di akhirat. Kemudian Alloh SWT akan merubah seluruh perilaku masyarakat, dimana yang kaya akan mencintai yang miskin, yang miskin akan menghargai yang kaya, yang berkuasa akan melayani hak-hak rakyatnya, rakyatnya akan memenuhi kewajibannya, yang kuat akan membela dan melindungi yang lemah, sementara yang lemah akan senantiasa mendoakan yang kuat.
Demikianlah sesungguhnya perkara yang dikehendaki oleh Alloh SWT, sebagaimana yang difirmankan di dalam Al-Qur’an: “Aku tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali apabila kaum tersebut berusaha untuk merubahnya”.
Jelaslah bahwa Alloh SWT menghendaki agar masyarakat melakukan suatu usaha, yang mana usaha tersebut akan menjadi sebab Alloh SWT berkenan untuk merubah nasib mereka. Dengan demikian satu-satunya usaha yang dikehendaki oleh Alloh SWT adalah usaha untuk menyempurnakan agama yang telah diturunkan-Nya sesuai dengan agama yang dipeluknya, dimana bagi ummat Islam harus dengan mencontoh Nabi Muhammad SAW. Inilah satu-satunya kepahaman dan keyakinan yang akan membawa perubahan dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, yang telah terbukti sejak 1.500 tahun yang lalu.
Demikian pula hendaknya kita memandang permasalahan yang terjadi di negara kita, khususnya di ibu kota Jakarta. Karena Jakarta adalah tempat bermukimnya berbagai macam etnis suku bangsa, yang merupakan sebuah fenomena budaya yang unik, yang terlahir dari akulturasi berbagai budaya yang dibawa oleh orang-orang yang datang dari berbagai penjuru nusantara. Dan bahkan dari belahan dunia lain seperti Arab, China, India, Eropah dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan firman Alloh SWT: “Sengaja kuciptakan kalian terdiri dari berbagai suku dan bangsa, demikian agar kalian saling kenal mengenal”.
Demikianlah Alloh SWT berkehendak untuk menjadikan kawasan ruang terbatas di sekitar wilayah yang dulu dikenal dengan nama Batavia. Sebagai kota yang kaya dengan kombinasi budaya tempatan (Betawi) dan pendatang. Meskipun demikian, dibalik keragaman tersebut terbentuk perilaku kehidupan sosial yang egaliter, tidak mengenal pusat kebudayaan yang berpangkal pada pusat kekuasaan, sehingga melahirkan perilaku yang lugas, jenaka, jujur dan adil. Karena masyarakat Betawi senantiasa berpegang teguh pada azas ketaatan dalam kehidupan beragama. Azas inilah yang membentuk karakter masyarakat yang ramah, bersahaja dan toleran.
Namun dalam wujud kehidupan perkotaan yang terjadi saat ini, proses akulturisasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan semua pendatang, mulai dari kalangan yang berpendidikan tinggi sampai yang tidak berpendidikan, memiliki tujuan yang sama yaitu mencari penghidupan yang lebih baik, sehingga sibuk mengais rejeki dan mengadu nasib. Tingkat kesibukan dan mobilitas yang tinggi dari migrasi desa-kota, tidak mampu lagi melanjutkan proses akulturisasi yang dahulu sudah mapan. Sebaliknya yang terjadi adalah proses akulturasi menjadi termarjinalkan atau tersingkirkan, sehingga azas dan jatidiri yang sudah lama terbentuk seakan menjadi lawas dan bahkan nyaris hilang.
Para pendatang tersebut raganya saja yang tinggal di Jakarta, namun hatinya tetap terpaut dengan daerah asalnya. Akhirnya kota menjadi seperti tidak berpenghuni, karena ikatan bathin antara warga dengan tempat tinggalnya telah dicabut oleh Alloh SWT. Jakarta hanya dipenuhi oleh para pendatang yang hendak memuaskan raga dan nafsu, bukan menjadikannya tempat untuk hidup dan menetap, karena tidak ada lagi perekat emosional, baik antar penduduk maupun dengan kotanya.
Tiap jengkal tanah dimanfaatkan semata-mata untuk mendapatkan kesempatan mendatangkan uang. Kota jadi terasa sumpek, padat dan kumuh, juga melelahkan dan membosankan, menyebabkan living and sosial cost yang tinggi. Sehingga ketakutan, kecurangan, ketidakadilan, kriminalitas, dan aksi protes/demonstrasi serta teror menjadi bagian dari kehidupan keseharian di Jakarta. Dengan kata lain, Alloh SWT telah mencabut keberkahan dan rahmat dari masyarakat kota dan negara ini.
Oleh karena itu dipandang sangat relevan apabila nilai-nilai positif perilaku Betawi yang pada awalnya berkembang dari proses akulturasi yang sudah mapan ini dapat digali dan diangkat kembali menjadi ikon model masyarakat perkotaan yang modern dan mandiri. Tidak ada lagi sekat-sekat kesukuan ataupun kebangsaan, menak (orang terhormat/bangsawan/ningrat/priayi-red) atau rakyat biasa serta perbedaan keyakinan.
Siapapun dan apapun suku dan kebangsaan serta agamanya, mereka yang tinggal dan menetap di Jakarta dan sekitarnya yang berazaskan pada ketaatan dalam kehidupan beragama. Sehingga wujud karakter dan perilaku positif Betawi, maka dia adalah Betawi, yang dapat disebut sebagai ruhnya Jakarta. Sebaliknya, siapapun mereka yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, yang tidak berazaskan pada ketaatan dalam kehidupan beragama. Sehingga perilakunya tidak mencerminkan karakter dan perilaku positif Betawi, maka mereka bukan Betawi. Tetapi pada hakikatnya hanyalah para pemuas raga dan nafsu serta asosial, yang tidak ada kemampuan untuk memberikan kontribusi apapun bagi Jakarta sebagai tempat hidupnya, sehingga dapat disebut sebagai jenazahnya Jakarta.
Demikian pula Rosululloh SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang berdzikir itu dianggap hidup di sisi Alloh SWT, sedangkan orang yang tidak berdzikir itu dianggap sebagai orang mati mayat”. Maka dengan mudah bisa dipahami bahwa dengan berusaha untuk senantiasa menjaga ketaqwaan kepada Alloh SWT sebagai wujud ketaatan dalam kehidupan beragama pada setiap saat dan keadaan merupakan kunci utama agar Alloh SWT berkenan untuk merubah dan mengembalikan ruh kota Jakarta.
Dahulu, sejak kecil, anak-anak muslim Betawi rajin mengaji di Masjid dan Musholla serta mempelajari ilmu bela diri. Dengan mengaji dan meng’amalkan ilmu agama, mereka memperoleh dasar-dasar keagamaan yang kokoh, sehingga ketika telah dewasa mereka mampu untuk menjadi insan yang bertaqwa kepada Alloh SWT. Ilmu bela diri mengandung nilai-nilai kesatria, yaitu senantiasa membela yang lemah dan menegakan keadilan, kejujuran serta kesetiaan. Terdapat banyak cerita tokoh-tokoh legendaris yang mengandung nilai kesatria, keberanian melawan penjajah dan membela rakyat, bukan saja hanya secara fisik, tetapi juga secara politik, ekonomi, sosial dan budaya serta jurnalistik.
Sebuah kota, betapapun dipimpin oleh seseorang yang pandai, ahli, alim, bijaksana, berwibawa, dengan diiringi pembangunan fisik yang berkembang dengan pesat, tidak akan pernah mampu menyelesikan permasalahan kehidupan perkotaan jika masyarakatnya sulit diatur, banyak menuntut, asosial. Si kaya menjadi semakin serakah, si miskin menjadi semakin beringas, yang kuat menjadi semakin zhalim, dan yang berkuasa menjadi semakin sombong. Semua ini terjadi karena mereka meninggalkan ketaatannya dalam kehidupan beragama. Sehingga Alloh SWT merubah hati pemimpin mereka menjadi zhalim, sebagai balasan karena rakyatnya telah membelakangi agama mereka. Sebaliknya meskipun pada awalnya pemimpin suatu negeri zhalim dan banyak kekurangannya, namun apabila rakyatnya senantiasa menjaga ketaatan dalam kehidupan beragama, maka Alloh SWT akan merubah hati pemimpinnya menjadi lembut, dan kemudian akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi.
Membangun kota bukan sekedar membangun fasilitas dan sarana serta prasarana fisik kota saja, tetapi lebih kepada membangun sebuah peradaban. Sebuah komunitas yang sejahtera aman dan tenteram, yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang tinggi sebagaimana seharusnya manusia diciptakan oleh Alloh SWT sebagai mahluk paripurna dan paling mulia dimuka bumi ini. Sebagaimana firman Alloh SWT: “Sesungguhnya Alloh SWT tidak memandang bentuk rupamu, tetapi Alloh SWT memandang hati-hatimu”.
Demikian pula seharusnya kita memandang sebuah kota, maka yang kita pandang adalah “ruh”-nya, bukan “jasad”-nya, sehingga kita akan memahami keutamaan usaha atas “ruh” tersebut. Apabila masyarakat bersungguh-sungguh membuat usaha atas “ruh” ini, maka Alloh SWT akan merubah hamba-Nya yang dilebihkan atas rizkinya bukan saja menjadi tidak serakah, tetapi bahkan menjadi dermawan dan tidak konsumtif serta hidup sederhana; yang miskin menjadi pandai bersyukur; yang memimpin menjadi lebih tawadu; yang kuat menjadi pembela dan pelindung yang lemah; yang lemah menjadi pandai berdoa. Dengan demikian akan tercipta kehidupan yang sejahtera bagi seluruh lapisan masyarakat.
Tidak ada kekuatan lain yang dapat merubah perilaku kehidupan manusia kecuali hanya Alloh SWT sebagai penciptanya yang mampu membolak-balikan hatinya. Manusia hanya butuh pertolongan dari-Nya dan hanya kepada-Nya-lah seharusnya manusia menyembah, meminta tolong serta bergantung. Semua ini semata-mata agar manusia menyadari bahwa dirinya adalah mahluk Alloh SWT yang lemah dan tidak berdaya, serta sangat membutuhkan taufik dan hidayah dari-Nya.
Oleh karena itu usaha yang paling utama yang harus segera dilakukan, sebagaimana yang telah dituntun dalam agama, adalah usaha agar bagaimana Alloh SWT berkenan untuk menurunkan pertolongan-Nya. Dengan demikian niscaya Alloh SWT akan berkenan memberikan kemampuan kepada manusia untuk menjalankan amanah-Nya, sehingga dapat menjadi asbab tersebarnya kemakmuran di muka bumi, bukan asbab kehancuran.
Tidak berlebihan jika “Betawi Taat Agamanya”, merupakan modal utama yang dapat mendatangkan pertolongan dari Alloh SWT. Kita sangat membutuhkan pertolongan dari-Nya, bukan dari teknologi, bukan dari ekonomi, bukan dari politik, bukan dari kekuasaan, karena itu semua adalah mahluk yang diciptakan oleh Alloh SWT. Makhluk tidak akan pernah dapat merubah manusia menjadi lebih berahlak dan beradab, karena makhluk tidak bisa mendatangkan manfaat maupun mudharat kecuali seizin Alloh SWT.
Teknologi, Ekonomi, Kekuatan dan Kekuasaan hanya akan dapat menjadi sebab kemanfaatan apabila Alloh SWT berikan kepada orang-orang yang memiliki 4 kriteria kepemimpinan, yaitu Shiddiq, Amanah, Fathonah dan Tabligh.  Selain itu hanya akan menjadi sebab kemudharatan bagi ummat manusia, dan bahkan kehancuran bagi alam semesta ini. Perkara inilah yang menjadi tema dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dan yang seharusnya menjadi usaha dan perhatian semua ummat beragama.
Shiddiq berarti benar dan membenarkan, dan tidak ada yang benar dan bisa dibenarkan dimuka bumi ini selain yang mutlak kebenarannya, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu jelas bahwa ciri-ciri pemimpin yang utama adalah orang-orang yang senantiasa menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman dan ‘amalan yang diwujudkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Amanah berarti bertanggung jawab, dimana tanggung jawab yang paling pokok adalah dihadapan Alloh SWT. Seorang pemimpin nanti akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Alloh SWT atas orang-orang yang dipimpinnya. Rosululloh SAW bersabda: “Apabila suatu kaum benar-benar beriman dan ber‘amal shaleh, maka pahala seluruh kaum tersebut akan dikirim dan dicatatkan di buku catatan amal pemimpinnya. Namun kebalikannya apabila iman dan amal suatu kaum salah, maka seluruh dosa dan kesalahan kaum tersebut akan dikirim dan dicatatkan di buku catatan amal pemimpinnya”.
Fathonah berarti cerdas, dimana pemimpinnya harus senantiasa membimbing masyarakat yang dipimpinnya untuk menjadi insan yang ber’ilmu serta memahami seluruh kehendak Alloh SWT yang melekat pada diri mereka. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh SAW: “Sesungguhnya orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa mengingat akan kematian, dan mempersiapkan bekal untuk menghadapinya”.
Tabligh berarti menyampaikan, dimana yang harus disampaikan adalah semata-mata perkara yang haq. Tidak ada perkara yang haq selain daripada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan format kerjanya adalah amar ma’ruf nahi munkar. Oleh karena itu seorang pemimping wajib berdakwah untuk mengajak kaumnya agar senantiasa meyempurnakan ketaatan dalam kehidupan beragamanya, serta bertabligh untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran mutlak yang telah diberikan oleh Alloh SWT melalui para Nabi dan Rasul-Nya.
Islam, Kristen, Katholik dan agama samawi lainnya sama-sama mengajarkan tentang ahlak dan budi pekerti yang luhur, yang mengandung seluruh nilai-nilai kehormatan dan kemuliaan. Demikian juga dengan ajaran-ajaran para leluhur bangsa, yang mengajarkan bagaimana akhlak dan budi pekerti untuk hidup berdampingan dan berhubungan dengan sesama mahluk, alam semesta, sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman.
Demikian pula yang telah digambarkan oleh masyarakat Betawi pada era akulturasi yang sudah berjalan mapan, dimana telah terbentuk sentuhan antara berbagai agama dalam perdamaian dan kasih sayang. Dapat diambil sebagai contoh adalah warga Betawi di Ujung Aspal yang beragama Kristen/Katholik, dimana mereka tetap menjadi bagian yang utuh dari masyarakat Betawi. Demikian pula tampak jelas bagaimana klenteng-klenteng dari warga keturunan Cina telah melebur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi, sehingga perayaan hari-hari besar mereka menjadi bagian dari warna kehidupan masyarakat Betawi. Semua ini menjadi bagian penting dalam membangun sebuah peradaban kehidupan kota.
Maka “Betawi Taat Agamanya” menjadi bagian yang paling azasi dalam pembangunan peradaban kehidupan kota yang modern. Warga Jakarta yang tidak taat kepada agamanya bukanlah merupakan bagian dari masyarakat Betawi, dan tidak memiliki hak sebagai warga Betawi. Bagi penduduk yang ber-KTP Islam, anak-anak mereka diajak kembali untuk mengaji di Mesjid/Musholla dan diajarkan seni bela diri berikut nilai-nilai sosial dan moral yang terkandung didalamnya. Begitu juga dengan para orang tuanya, terutama laki-laki yang sudah baligh yang shalatnya belum di Masjid, maka diajak agar kembali memakmurkan Masjid-masjid minimal dengan sholat fardhu lima waktunya. Dengan demikian denyut kehidupan keagamaan Betawi masuk dalam sanubari masyarakat.
Demikian pula dengan warga yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan agama lain yang diakui secara resmi oleh pemerintah, mereka juga harus diajak untuk ta’at kepada ajaran agama masing-masing serta menyempurnakan ibadah ditempat peribadatan masing-masing. Kalau masyarakat sudah benar-benar taat dengan agamanya, dan mengimplementasikan nilai-nilai budi pekerti yang luhur dari ajaran agamanya, maka Alloh SWT pasti akan menurunkan rahmat dan keberkahanNya atas ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, sosial dan budaya yang diusahakan oleh masyarakat, sehingga akan mendatangkan manfaat bagi kehidupan kota.
Meskipun lalu lintas kota padat, masyarakat tetap mengendarai dengan tenang, tidak saling berebut dan disiplin terhadap seluruh peraturan lalu lintas. Pedagang akan memahami ilmu berdagang, dan bersedia ditempatkan pada lokasi yang sudah ditentukan, sehingga tidak mengganggu kepentingan umum, serta diberi keberkahan oleh Alloh SWT atas usahanya. Warga tidak akan mau membuang sampah sembarangan, karena memahami perintah Alloh SWT yang berkaitan dengan kebersihan dan keindahan, yang merupakan bagian daripada ciri-ciri masyarakat yang beriman.
“Betawi Taat Agamanya” menjadi solusi masyarakat yang mandiri, yang tidak bergantung kepada ekonomi, teknologi, politik dan kekuasaan, yang notabene akan senantiasa melekat kepada aparat pemerintah atau penguasa. Kemampuan untuk melepaskan diri dari harapan dan ketergantungan kepada mahluk inilah yang akan membawa kepastian turunnya pertolongan dari Alloh SWT, sehingga Alloh SWT berkenan untuk merubah nasib bangsa dan negara ini, khususnya bagi masyarakat Betawi. Pada akhirnya kecintaan kepada Jakarta akan menjadi perwujudan kesadaran dari warganya, dimana dia hidup dan berkehidupan, mulai dari lahir dan dibesarkan sampai dewasa. Baik dan buruknya kota Jakarta akan menjadi cerminan dirinya, tempat dimana mereka menyambut Rahmat dan Berkah atas rizki yang diberikan oleh Alloh SWT. Seluruh warga sama-sama mempunyai tanggung jawab untuk menjaga jasmani dan rohani sumber-sumber penghasilannya.
Sesungguhnya Jakarta adalah miniatur Bhineka Tunggal Ika. Mulai dari Presiden, Menteri sampai gelandangan yang ada di Jakarta, bahkan seluruh lapisan masyarakat yang ada berasal dari berbagai suku dan bangsa. Apabila wujud perilaku saling memberi, saling menghormati, saling menghargai, saling menyayangi, dan saling mendahulukan, dengan sendirinya akan terwujud pula kesatuan bangsa, sebagai syarat untuk berdirinya bangsa yang besar.
“Komunitas Betawi Mandiri”, mengajak kepada semua warga ber-KTP DKI Jakarta untuk bersama-sama bergabung membangun peradaban “kehidupan kota yang modern” yang dapat menjadi “ikonnya” kota-kota lain di Indonesia, dan bahkan bagi kota-kota dunia. Oleh karena itu janganlah perkara ini hanya sampai berupa slogan saja. Marilah kita bersama-sama bermuhasabah melihat kedalam diri kita lebih dahulu, dan berusaha untuk memperbaiki diri dengan menyempurnakan ketaatan kepada agamanya, untuk kemudian bergabung dalam “Komunitas Betawi Mandiri”, “Betawi taat Agamanya”, “Cinta Jakarta dan Bangsa”.
Demikanlah seharusnya yang menjadi maksud dan tujuan kehidupan bermasyarakat kota Jakarta. Masing-masing unsur dan kalangan warga bersedia untuk mengerahkan seluruh potensi dan amanah yang telah dititipkan oleh Alloh SWT kepada mereka, demi terwujudnya sebuah gerakan moral universal dalam mewujudkan masyarakat “Betawi Mandiri”.